Kawasan Tanpa Asap Rokok di Ruang Publik: Instrumen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Menuju Pencapaian SDG’s
PENULIS: IGIL FEBRIANI dan ALESMAN
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning)
Di tengah komitmen global Indonesia terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) dan cita-cita pembangunan berkelanjutan yang inklusif, paradoks mencolok masih terjadi di ruang-ruang publik, yakni paparan asap rokok tetap berlangsung secara luas, bahkan menyasar kelompok paling rentan perempuan dan anak-anak. Taman kota, halte, sekolah, rumah sakit, kendaraan umum, hingga jalanan yang seharusnya menjadi tempat aman, kerap menjadi lokasi merokok terbuka tanpa kontrol.
Situasi ini bukan hanya mencerminkan kegagalan penegakan hukum, tetapi juga menjadi cermin buram dari lemahnya perlindungan negara terhadap hak asasi manusia dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang.
Secara normatif, Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang cukup kuat. Pasal 115 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan tegas mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR), disusul Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 yang memperjelas pengamanan zat adiktif tembakau. Pemerintah daerah pun diwajibkan menetapkan kawasan seperti fasilitas kesehatan, tempat belajar, taman bermain, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum lainnya sebagai area bebas asap rokok. Sejumlah daerah telah memiliki Peraturan Daerah tentang KTR, namun sayangnya implementasi kebijakan tersebut masih bersifat formalistik. Penegakan hukum terbatas pada pemasangan stiker tanpa pengawasan yang aktif maupun sanksi yang mengikat secara sosial dan hukum.
Dampak dari lemahnya implementasi ini sangat nyata dan dapat diukur secara empiris. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 47,4% anak usia 10–18 tahun menjadi perokok pasif baik di ruang publik maupun rumah tangga. Sementara itu, hampir 60% perempuan dewasa terpapar asap rokok di tempat umum. Risiko kesehatan yang ditimbulkan bukanlah hal sepele: dari infeksi saluran pernapasan atas, komplikasi kehamilan, hingga potensi kanker dan kematian mendadak bayi. Kondisi ini jelas melanggar Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat serta perlindungan terhadap anak. Negara juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (CRC) dan Konvensi CEDAW, yang mewajibkan tindakan afirmatif untuk melindungi kelompok rentan dari ancaman kesehatan dan diskriminasi lingkungan.
Paparan asap rokok bukan sekadar masalah kesehatan. Ia adalah bentuk kekerasan struktural terhadap kelompok tanpa daya tawar terutama anak-anak dan perempuan yang tidak memiliki pilihan untuk menghindar dari paparan. Dengan kata lain, kegagalan negara menegakkan kawasan tanpa rokok juga merupakan kegagalan dalam menjamin keadilan sosial.
Kebijakan KTR sesungguhnya bersentuhan langsung dengan sejumlah Tujuan SDGs. Tujuan 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera) mendorong negara menurunkan sepertiga angka kematian akibat penyakit tidak menular melalui pengendalian tembakau. Tujuan 5 (Kesetaraan Gender) menekankan pentingnya lingkungan yang aman bagi perempuan, termasuk dari paparan zat adiktif. Tujuan 1 (Tanpa Kemiskinan) pun berkorelasi, mengingat rokok masih menjadi pengeluaran rumah tangga terbesar kedua setelah beras dalam keluarga miskin (BPS, 2022), yang memperparah siklus kemiskinan antargenerasi. Tak kalah penting, Tujuan 13 (Aksi terhadap Perubahan Iklim) bersinggungan dengan pencemaran lingkungan akibat limbah rokok seperti puntung yang bersifat non-biodegradable.
Sayangnya, hingga hari ini kawasan tanpa rokok masih lebih banyak menjadi jargon normatif ketimbang realitas yang terimplementasi. Tidak adanya mekanisme pengaduan publik, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan, serta minimnya edukasi berbasis komunitas dan gender membuat KTR tidak membumi. Perokok aktif tetap merokok di halte, taman, dan area sekolah tanpa rasa bersalah dan tanpa sanksi. Ini menunjukkan bahwa negara belum sungguh-sungguh hadir dalam menjamin hak hidup sehat rakyatnya.
Sudah saatnya KTR tidak lagi diperlakukan sebagai kebijakan kesehatan semata, melainkan sebagai alat keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, pelindung lingkungan, serta wujud nyata tanggung jawab negara terhadap perempuan dan anak. Pemerintah harus memperkuat sanksi administratif dan pidana bagi pelanggaran KTR, membangun sistem pengaduan yang mudah diakses, serta melibatkan perempuan dan komunitas anak dalam proses pengawasan. Edukasi publik pun harus dibuat lebih partisipatif, komunikatif, dan kontekstual terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Di tingkat internasional, Indonesia perlu segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai bentuk keseriusan dan harmonisasi kebijakan nasional dengan standar global.
Kawasan Tanpa Rokok bukanlah isu marginal. Ia menyentuh inti dari hak atas kehidupan yang layak, kesehatan yang berkelanjutan, dan masa depan bangsa. Melindungi kelompok paling rentan dari bahaya asap rokok adalah cerminan kualitas negara dalam menegakkan konstitusi dan nilai kemanusiaan. Maka, penegakan KTR harus menjadi agenda prioritas dalam hukum dan kebijakan publik bukan sekadar karena tuntutan internasional, tetapi karena inilah amanat moral dan konstitusional bangsa.
Posting Komentar untuk "Kawasan Tanpa Asap Rokok di Ruang Publik: Instrumen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Menuju Pencapaian SDG’s"