Trias Politica
Trias Politica (pemisahan kekuasaan) tentu tidak asing bagi kita masyarakat Indonesia. Apalagi bagi mahasiswa Hukum akan sangat penting untuk mengetahui fungsi dan tugas masing-masing lembaga tersebut. Namun pada tulisan ini, penulis akan membagikan teori asal usul dari kata Tria Politica itu sendiri siapa yang menggagasnya serta lembaga apa yang termasuk didalamnya hingga dapat terbentuk.
UUD 1945 dalam Pasal 4 dan 5 beserta penjelasannya menggunakan istilah kekuasaan pemerintahan, kekuasaan eksekutif, executivepower, kekuasaan pembentuk undang-undang, legislative power. Kemudian dalam pasal 24 beserta penjelasannya ditemukan kata kekuasaan kehakiman. Pemerintahan Negara disebut kekuasaan pemerintah, istilah-istilah tersebut mengingatkan pada Montesquieu yang terkenal dengan ajarannya menegenai tria politica. Nama montesquieu dikenal di indonesia, karena diajarkan sejak di sekolah lanjutan. Kemudian harian Suara Pembaruan Hari rabu tgl 13 mei 1991, menurunkan suatu tajuk rencana yang menggambarkan seolah-olah Negara kita masih mengikuti ajaran tria politica. Lalu dapat timbul pernyataan apakah Negara kita menganut ajaran montesquieu.
Sebetulnya sudah banyak penulis Indonesia yang mengupas masalah ini. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa UUD 1945 tidak menganut ajaran itu. Malahan sekarang ini tidak ada lagi Negara yang mengikutinya termasuk Amerika serikat yang pengorganisasian Pemerintahannya pada hakekatnya didasarkan kepada konsep Montesquieu.
Sebab-sebabnya adalah bahwa dasar dari pada ajaran itu ternyata tidak jelas dan juga akibat semakin kaburnya garis pemisah antara lembaga legislatif dan eksekutif dan antara fungsi legislatif dan fungsi pemerintahan. Pro.C.W.van der Pot mengatakan pada tahun 1921 bahwa ajaran itu telah usang. Rekannya Prof. H.Th.j.F van Maarseveen pada tahun 1969 menegeluh bahwa walaupun semua pihak telah membuangnya, namun ajaran ini masih tetap meracuni pemikiran mengenai Hukum Tata Negara.
Memang sistematika Hukum Tata Negara sudah terlalu lama mengacu pada ajaran, itu sehingga dampaknya masih terasa hingga sekarang. Sekarang ini telah banyak usaha untuk menggantikannya dengan yang baru. Dalam pembahasan ini di telusuri konsep-konsep yang diajukan sebagai pengganti ajuran montesquieu untuk kemudian dihubungkan dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang di indonesia dalam rangka UUD 1945.Untuk dapat lebih memahami konsep-tersebut perlu di bahas asal-usul ajaran Montesquieu. Dan oleh karena itu, ajaran ini berawal dari alam demokrasi liberal maka ada baiknya kita meninjau hubungan ajaran tersebut dengan demokrasi Liberal.
1. Asal-usul Trias Politica
Istilah Tria Politica menurut Aristoteles dalam bukunya Politica meyebut adanya tiga fungsi yang berperan dalam suatu Negara (dalam bahas yunani dinamakan koiron yang berarti kegiatan Negara). Tiga koiron itu adalah permusyawaratan mengenai masalah-masalah umum, pengorganisasian jabatan-jabatan atau pejabat-pejabat dan fungsi peradilan.
Kemudian Jean Bodin dalam bukunya Les six livres de la Republique yang diterbitkan pada tahun 1577 disamping tiga fungsi juga menyebut adanya tiga badan (organen). Ketiga organ itu adalah rakyat, kaum ninggrat dan raja. Rakyat yang mengangkat para fungsionaris, mengelola keuangan dan memberikan grasi. Kaum ninggrat membentuk undang-undang, menentukan mengenai masalah perang dan damai dan menarik pajak. Raja yang menerima kehormatan serta pujian dan merupakan hakim tertinggi.Lebih kurang seabat, John Locke menulis dalam bukunya Two Treatises of Civil Government (1690) mengenai adanya tiga kekuasaan yaitu kekuasan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif mencakup wewenang menegakkan peratuaran dan mengadili perkara. Jadi Locke menganggap wewenang mengadili termasuk pengertian pelaksanaan atau eksekutif. Yang dimaksud dengan kekuasaan yang ketiga adalah yang mengatur hubungan dengan orang dan Negara-negara di luar Negara seperti mengenai perang dan damai, membuat perjanjian perserikatan atau aliansi dengan Negara lain.
Monstequieu mengambil oper pembagian dari John Locke itu, hanya dia memasukkan kekuasaan mengenai hubungan luar Negeri dan pertahanan kedalam kekuasaan eksekutif, tetapi wewenang mengadili perkara dipisahkan dan dijadikan kekuasaan yang tersendiri. Montesquieu yang nama lengkapnya adalah Charles Louis deSecondat Baron de la Brede et de Montesquieu menguraikan ajarannya dalam bukunya berjudul l’Esprit des Lois (1948) Montesquieu memecah kekuasaan Negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif dan ketiga fungsi itu secara terpisah diberikan kepada tiga lembaga Negara.
Pembentukan kebijaksanaan politik terwujud dalam pembentukan undang-undang (legislatif). Dan pemerintahan (eksekutif) sebagai fungsi Negara yang terpisah. Walaupun terpisah namun keduanya berkembang setelah lahirnya Negara sehingga Negara Legislatif dan Eksekutif tidak mungkin terpisahkan dari Negara, tidak demikian halnya dengan lembaga Yudukatif karena kalau sejarah ditelusuri maka akan dapat diketahui bahwa eksistensi lembaga Yudikatif mendahului eksistensi Negara. Jadi, jauh sebelum ada Negara seperti yang kita kenal sekarang sudah ada peradilan. Baru pada abad XVII peradilan menjadi suatu fungsi Negara yang mendeka.
Dalam ajaran trias politica hakim dianggapa sebagai “a-polits”. Akan tetapi Montesquieu khawatir terhadap kemungkinan penyalahgunaan kebebasan hakim. Hal ini dapat dipahami jika di ingat bahwa para hakim sebelum dan sesudah revolusi Prancis merupakan hasil pengangkatan dan pilihan Raja. Oleh karenanya fungsi lembaga Yudikatif oleh Montesquieu dibatasi hanya sebagai bouhce de la loi (mulut undang-undang) saja yaitu hanya untuk pengetrap-an ketentuan undang-undang saja. Jadi, lembaga Yudikatif secara praktis dijadikan sebagai perpanjangan lembaga eksekutif. Malahan pada tahun-tahun awal Revolusi Prancis para hakim dilarang untuk melakukan interprestasi terhadap undang-undang. Apabila terjadi keraguan terhadap ketentuan suatu Undang-Undang, maka para hakim harus pergi bertanya kepada pemebentuk Undang-Undang.
2. Deklasi Lafayette
Ajaran Montesquieu kemudian menjelma dalam deklarasi Lafayette 29 Agustus 1789 khususnya dalam pasal 16 : A society in which rights are not secured not the separation of powers. Established is a society without a consititution (suatu masyarakat yang tanpa jaminan akan hak-hak maupun yang tanpa pemisahan kekuasaan adalah masyarakat tanpa konstitusi.
Setelah ajaran ini dapat tempat dalam UUD Prancis 1791 maka banyak Neagra lain menirunya. Jadi, menurut deklarasi Lafayette dengan mengikuti Montesquieu asas pemisahan kekuasaan berdasarkan ajaran Trias Politica merupakan persyaratan esensial bagi Negara agar dapat berjalan denagan baik. Akan tetapi, kiranya dicatat bahwa Deklarasi Lafayette 1789 tersebut bukan hanya menampung pemikiran Montesquieu yang menganut aliran liberal klasik. Deklarasi itu juga memeberikan akomodasi pada aliran demoklasik.
Aliran pertama mengutamakan kesejahteraan individu sehingga nilai-nilai utamanya adalah hak-hak dan kebebasan-kebebasan pribadi sedangkan persamaan (equality) dinomorduakan. Nama – nama terkenal dari aliran ini adalah a.l. John Locke, Montesquieu, Thomas Jefferson.
Aliran kedua terutama didasarkan kepada ajaran Rousseau dan Lincoln mengutamakan kesejateraan masyarakat secara keseluruha. Nilai utamanya adalah persamaan dan tekanan banyak diletakkan pada kemauan serta kepentingan umum. Jadi, dalam Deklarasi Lafayette bertemu kedua aliran itu dan lahirlah apa yang dinamakan Demokrasi Liberal.
3. Asas Dasar Demokrasi Liberal
Pertama-tama perlu diketahui bahwa demokrasi liberal didasarkan pada prinsip-prinsip umum tertentu yang pada gilarnya dapat dikembalikan pada dua asas yaitu :
- Asas liberal mengenai pemisahan kekuasaan dan perimbangan kekuasaan yang bertujuan untuk menjamin kebebasan warga masyarakat.
- Asas demokrasi mengenai kedaulatan nasional yang merupakan dasar yuridis bagi proses domokrasi yang bermotifkan kesamaan manusia (equality).
Antara dua asas dasar tersebut terdapat suatu keterangan yang bersumber pada ketegangan antara pola pikir kaum liberal-klasik dan kaum demokrasi klasik. Hal ini berhubungan erat dengan perbedaan kedua pandangan kedua aliran itu terhadap manusia dalam masyarakat. Kalau kaum liberal memandang manusia sebagai warga pertikelir (borjuis) yang bertolak dari hak-hak kebebasan pribadi selalu berusaha mengejar kepentingan-kepentingan dirinya sendiri dan meningkatkan eksistensinya dengan berpedoman pada mekanisme pasar dan harga, maka penganut demokrsi klasik memandang manusia sebagai warga negara yang bertolak dari hak-hak kebebasan dan partisipasi politik selalu berusaha dengan berpedoman pada kepentingan umum.
Sebagai akibat perbedaan pandangan tadi maka Negara di satu pihak di anggap sebagai pelindung masyarakat dan kekuasaan Negara perlu dibatasi sedemikian rupa untuk menjamin hak-hak kebebasan warga masyarakat semaksimal mungkin, dan dilain pihak yang dianggap sebagai penjelmaan pemegang kedaulatan rakyat yaitu rakyat sendiri yang secara langsung atau tidak langsung menentukan pelaksaaan kedaulatannya itu.
Untuk dapat menjamin hak-hak kebebasan warga masyarakat maka pengorganisasian Negara harus diatur sedemikian rupa sehingga kekuasaan Negara dibatasi. Pembatasan ini dilakukan dengan UU. Kalau aliran pertama ini menganut dualisme, Negara dipisah dari masyarakat, maka penganut demokrasi klasik mengedintifikasikan masyarakat dengan Negara (monisme). Kedua aliran ini sama-sama menghendaki pelaksanaan konsepsinya melalui UU, tetapi dengan pengertian yang berbeda. Kalau aliran pertama mengartikan UU sebagai pengaturan umum yang mengikat semua pihak (undang-undang dalam arti materil), maka aliran kedua mengartikan sebagai skspresi dari pada kemauan rakyat (undang-undang dalam arti formal)
Kemudian terajdilah kompromi, kedua konsepsi itu digabung seperti yang dirumuskan dalam Deklarasi Lefayette 1789. Selain pasal 16 sebagaimana tersebut dalam bagian depan tulisan ini yang mengandung konsep aliran pertama, terdapat juga pasal 3 dan 6 yang menampung konsep aliran kedua.
Pasal 3 berbunyi :
Dasar dari semua kedaulatan, pada hakekatnya adalah bangsa. Tidak boleh ada badan atau orang melakukan suatu kekuasaan yang tidak secara jelas berasal dari padanya.
Pasal 6 berbunyi :
Undang-undang adalah ekspresi dari pada kemauan rakyat umum. Semua warganegara berhak untuk ikut serta dalam pemebentukannya baik secara langsung ataupun perwakilannya.
Secara DeklarasiLafayette 1789 maka konsepsi gabungan ini dengan cepat menjalar di Benua Eropa dan kemudian juga ke benua Amerika. Tetapi disebabkan sifatnya yang kompromistik itu maka terjadi praktek yang berbeda di negara-negara penganutnya. Ada yang menitikberatkan kepada aspek liberalnya dan ada yang lebih menekankan kepada aspek demokratisnya.
4. Perkembangan
Sebagaimana telah dikemukakan, pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Deklarasi Lafayette 1789 kemudian dituangkan dalam Konstitusi Prancis yang pertama pada 1791. Pemisahan kekuasaan a la Montequieu secara jelas tergambar dalam konstitusi itu. Raja Prancis pada waktu itu, Louis XVI, menerima dengan baik Konstitusi yang baru lagi. Sesudah itu terjadi perkembangan yang cepat sekali.
Bentuk Negara Prancis silih berganti, dari Republik menjadi Kekaisaran, kemudian kembali ke Republik, selanjutnya kembali lagi ke Kerajaan, dan akhirnya pada tahun 1870 kembali menjadi Republik (Republik III). Pergantian bentuk Negara itu disertai dengan pergantian Konstitusinya. Konstitusi Republik III itupun masih mengikuti secara secara ketat pemikiran Montesquieu. Seorang pakar Hukum tata Negara Prancis Prof. Carre de Malberg mengatakan bahwa sebenarnya konsep Montesquieu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan Raja. Dengan digantikannya kedudukan Raja oleh menteri-menteri maka masalahnya sudah menjadi lain.
Amerika Serikat merupakan salah satu dari negara-negara yang dalam UUD-nya secara jelas tergambar ajaran tria politica Montesquieu. Akan tetapi ternyata bahwa UUD ini kurang dapat menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Suatau panitia yang dibentuk oleh Presiden A.S. untuk menyelidiki keadaan pemerintahan A.S. dan untuk mengajukan kepada Presiden saran-saranperbaikan, dalam laporannya antara lain meneyebut tentang adanya suatu headless Fourth Branch of Government (cabang pemerintah yang ke empat yang tidak dapat dimasukkan kedalam tiga cabang yang telah ada). Kekuasaan keempat yang dimaksud oleh panitia itu adalah the Independenty Regulatory Commissions (Badan-badan Pengatur yang mandiri) yang mempunyai wewenang baik dibidang Legislatif maupun dibidang eksekutif dan Yudikatif.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Roosevelt dan kemudian juga oleh Presiden Kennedy untuk memasukkannya ke lingkungan eksekutif tidak berhasil. Ternyata di Amerika Serikat masih ada kekuasaan keempat yang lain yaitu pers yang tidak kurangperanan dan pengaruhnya dalam kehidupan Negara dan bangsa A.S. Selai itu pada tahun 1960 terbit suatu buku yang berjudul American Bureaucracy yang merupakan hasil penelitian mengenai peranan aparatur federal dalam penentuan kebijaksanaan Negara.
Aparatur poemerintah disebut sebagai kekuasaan keempat. Jadi, di Amerika telah berkembang pendapat menegenai kekuasaan yang keempat, demikianlah keadaan Amerika yang dicap sebagai penganut ajaran Montesquieu. Sebelumnya di Prancis sendiri menjelang akhir abad yang lalu telah pula terdengar bahwa adanya kekuasaan yang keempat disamping tiga kekuasaan dari ajaran Trias Politica. Yang dimaksud adalalah kekuasaan kepala negara yang disebut sebagai le pouvoir neutre, le pouvior royal. Kekuasaa keempat yang netral ini sempat masuk kedalam UUD Portugal 1826. Negara yang hingga sekarang masih menganut Kepala Negara sebagai kekuasaan keempat yang netral adalah Austria.
Mr.H.J. Marinus Gerlings mengatakan bahwa ada 2 kekuasaan lagi selain yang tiga sehingga dalam Negara ada 5 kekuasaan yaitu berturut-turut Perwakilan rakyat, Pemerintah, Pemebentuk undang-undang, Peradilan dan Raja. Pada awal abad ini dalam suatu buku berjudul The Government of Modern State (1991) yang ditulis oleh Willoughby disebut adanya lima kekuasaan negara yaitu Kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif, kekuasaan peradilan, kekuasaan administrasi dan elektorat.
Prof. C. Van Vollenhoven dalam bukunya yang sangat terkenal di Indonesia berjudul Staatsrecht Overzee (1934) mengemukakan pada halaman 154 dst, adanya empat fungsi negara (catur praja) yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif dan polisionil. Kemudian Prof. W.L.G Lemaire dalam bukunya Het recht in Indonesie (1957) mengembangkannya menjadi lima fungsi negara yaitu legislatif, eksekutif,yudikatif , pemerintahan dan polisi.
Menurut Prof.Logement mengembangkan catur praja menjadi panca praja, menurut Logement ada lima fungsi negara yaitu :
- Perundang-undangan
- Pelaksanaan
- Pemerintah dalam arti khusus
- Peradilan
- Polisi
Yang dimaksud dengan pelaksanaan atau eksekusi adalah kekuasaan menjalankan putusan – putusan perundang-undanga. Dan pemerintah dalam arti khusus adalah tindakan yang spontan tanpa menunggu peraturan perundang-undangan demi kepentingan kesejateraan rakyat seperti tindakan pemerintah sewaktu banjir dan sebagainya. Pakar ilmu politik Gabriel A.Almond dan G.Bingham Powel berpendapat kehidupan negara lebih dapat dipahami jika kita memepelajari tingkah laku para pemeran politik dari pada mendalami isi undang-undang dan ideologi. Pengertian mengenai negar,kostitusi, lembaga perwakilan rakyat dan hak serta kewajiban warga negara menurut mereka adalah terlalu abstrak dan tidak dapat menggambarkan perubahan cepat yang dialamai oleh negara beserta lembaga-lembaganya.
Penggunaan pendekatan trias politica mengkin dapat berjalan sewaktu yang aktif bergerak di bidang politik hanyalah sekelompok masyarakat yang kecil tetapi kompak atau homogen. Mereka setuju untuk menggunakan pendekatan fungsional, akan tetapi untuk keadaan sekarang ketiga fungsi seperti yang dilansir oleh Montesquieu itu perlu ditambah dengan tiga yang lain sehingga menjadi enam fungsi yaitu pengungkapan kepentingan,penghimpunan kepentingan pembantuan peraturan umu, pelaksanaannya, peradilan dan komunikasi politik. Antara keenam fungsi itu selalu terdapat suatu interdepensi dan interaksi. Oleh Almond dan Powel fungsi-fungsi itu disebut sebagai fungsi-fungsi atau proses konversi dari pada sistem politik. Selain itu suatu sistem politik mempunyai fungsi-fungsi pemeliharaan budaya dan recruitment yang berhubungan dengan kesinambaungan serta penyesuaian sistem politik dalam rangka menghadapi perkembangan dan tekanan-tekanan dari luar.
Menurut kedua pakar ilmu politik ketiga golongan fungsi-fungsi tadi dan menghubungkannya satu dengan yang lain maka kita dapat mengadakan perbandingan antara sistem-sistem politik yang ada di dunia dan sekaligus dapat menelusuri perkembangan yang terjadi. Sebenarnya ajaran Montesquieu sudah tidak diikuti lagi, telah terjadi perkembangan akan tetapi perkembangan yang dilukiskan dalam paragraf ini masih mengikuti pola pikir Montesquieu. Dibawah ini akan diuraikan perkembangan yang tidak lagi mengikuti pola pikir Montesquieu.
5. Pengembangan Alternatif Lain
Prof Mourice Hauriou dari Prancis berpendapat bahwa penegertian dan seperti Negara dan Hukum tidak dapat dipandang secara statis tetapi harus melihatnya secara historis dan relativistis. Jadi konsepsinya mengenai Negara bersifat dinamis, negara selalu bergerak. Pola pikir bersifat dealektis dalam arti bahwa hal-hal yang bertentangan/berhadapan dalam kenyataan politik tidak melebur kedalam suatu keseimbangan antara perbedaan.
Menurut Hauriou dalam perkembangan hukum tata negara telah terjadi diferensiasi antara fungsi, badan (lembaga negara) dan kekuasaaan. Kekuasaan negara tidaklah identik dengan fungsi atau badan negara. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan atau kekuasaan dari kemauan yang menggerakkan badan-badan negara untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu. Berdasarkan analisis psikologs mengenai kemauan negara yang menjelma dalam berbagai pelaksanaan kemauan, maka Hauriou melihat adanya tiga kekuasaan publik yang bukan hanya semata-mata berbeda menurut fungsi utamanya tetapi menurut cara khas pelaksanaan kemauannya.
Tiga kekuasaan itu antara lain :
- Kekuasaan eksekutif yang mengawali pembuatan keputusan dan melaksanakannya dan oleh karenanya memiliki kemampuan keahlian yang besar.
- Kekuasaan permusyawaratan yang merundingkan masala-masalah publik. (umum).
- Kekuasaan elektoral (pemilihan) yaitu kemampuan untuk menyetujui atau tidak menyetujui mengenai penanganan masalah-masalah politik dan dengan cara begitu menentukan legitimasi dari pada kebijaksanaan penguasa.
Hauriou membedakan antara penglihatan dari segi yuridis dan dari segi politik. Dari segi yuridis karena sifatnya sebagai sumber legitimasi maka menurut dia elektorat dan badan perwakilan rakyat merupakan kekuasaan yang primer. Dari sudut politik maka eksekutif menempati tempat utama. Dalam proses pembentukan keputusan politik badan perwakilan rakyat mempunyai peran yang bersifat sekunder.
Perkembangan kemudian memperlihatkan banyaknya timbulbadan-badan lain yang juga berfungsi sebagai badan permusyawaratan yang diwujudkan oleh perwakilan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan pakar atau ahli. Secara langsung berhubungan dengan eksekutif tanpa melalui badan perwakilan rakyat dan tidak jarang keputusan politik pihak eksekutif merupakan realisasi hasil perundingan dengan mereka.
Prof. O. Notohamidjojo, S.H. dalam bukunya Makna Negara Hukum (jakarta, Badan Penerbit Kristen, 1970) hal 41 mengatakan bahwa UUD 1945 dalam penyelenggaraan Negara hukum secara formal menganut sapta praja. Dikatakan bahwa kekuasaan pemerintah negara menurut UUD 1945 dibagi antara 7 lembaga pemerintahan antara lain :
- MPR
- Pemerintah Negara yang dikepalai oleh Presiden dan Wakil Presiden.
- Dewan Pertimbangan Agung
- Dewan Perwakilan Rakyat
- Badan Pemeriksa Keuangan
- Mahkamah Agung
- Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung tidak dimasukkan maka sistem itu ialah Sad Praja.
6. Pendapat Para Sarjana Indonesia
Prof.Dr.Ismail Suny,S.H., MCL dalam disertasinya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif (jakarta, C.V.Calindra, cet ke-2 1965) menyamakan kekuasaan Negara dengan tugas pemerintah. Pada halaman 5 dikatakan :”adalah menjadi kebiasaan membagi tugas pemerintah ke dalam trichtomy yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. UUD 1945 hanya mengenal pemisahan tidak dipertahankan secara prinsipi.; Dengan perkataan lain UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan.
Perlu dicatat bahwa kita tidak menganut aliran dualisme yang memisahkan rakyat dan Negara. UUD 1945 menganut aliran mono-dualisme yang membedakan rakyat dari Negara tetapi tidak memisahkan atau menempatkannya dalam posisi yang berhadapan. Kekuasaan membuat konstitusi yang menurut teori aliran Liberal berada di tangan rakyat, menurut UUD 1945 berada di tangan MPR, akan tetapi perlu dicatat bahwa MPR bukan bertindak sebagai konstitusi dalam menetapkan garis-garis besar haluan Negara dan memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. UUD menganut pendirian bahwa MPR sebagai penjelmaan rakyat memgang kekuasaan dan mengambil putusan-putusan atas nama rakyat.
Kemudian UUD menganut asas kekeluargaan yang didasarkan kepada kebudayaan bangsa Demokrasi Pancasila bersifat terbuka. Dalam penjelasan Pasal 28,29 (1) dan 34 disinggung hasrat bangsa Indonesia untuk membangun warga Negara yang bersifat demokratis. Jadi dapat dikatakan bahwa permasalahan UUD 1945 adalah permasalahan yang menyangkut demokrasi. Secara tegas untuk memperhatikan dinamika kehidupan masyarakat dan Negara. Hukum dasar yang tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara. Dengan demikian UUD 1945 menghendaki undang – undang dasar dan kehidupan negara tidak terlepas dari realita kehidupan masyarakat.
Posting Komentar untuk "Trias Politica"