Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual beli tanah wajib BPJS Kesehatan: “Pemerintah Tidak Tahu Ranah Privat”


Penulis : HARTALENTA ZEGA


Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Demikian bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara Hukum adalah Negara yang didalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar. Negara hukum berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga Negara. Di Indonesia, meskipun tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, Pancasila hadir sebagai falsafah dan ideologi bangsa Indonesia dengan semangat menegakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

Pemerintah berdasarkan landasan Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara harus menjamin Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial termasuk jaminan kesehatan bagi warga Negara. Dalam perjalanan pemerintahan Indonesia era reformasi saat ini masalah kesehatan menjadi visi pemerintah yang tak kunjung selesai, alih-alih solusi kepada masyarakat pemerintah malah mempersulit masyarakat dalam memperoleh jaminan kesehatan. 

Berbicara masalah kesehatan, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Pada tahun 1968 Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968 dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun beserta keluarganya. BPJS Kesehatan resmi beroperasi pada 1 Januari 2014 yang berlandaskan Hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 

Kebijakan diatas mencerminkan bahwa Negara hadir memenuhi salah satu kewajibannya dalam melindungi hak warga Negara dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata. Dikutip dari laman BPJS Kesehatan, peserta dibagi menajadi dua kategori, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI atau mandiri. Peserta non-PBI harus membayar sendiri iurannya. Sedangkan peserta PBI ditujukan untuk masyarakat miskin yang iuran bulanannya ditanggung oleh pemerintah. Regulasi pemerintah dalam pemerataan PBI BPJS Kesehatan tidak mencakup seluruh elemen masyarakat, disisi lain BPJS Kesehatan Non-PBI atau mandiri masyarakat belum tentu mampu membayar iuran perbulannya. Penerapan regulasi ini sudah memperlihatkan pemerintah yang tidak adil dan melanggar hak setiap orang dalam memperoleh jaminan sosial sesuai pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, artinya pemerintah gagal dalam menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Pada awal tahun 2022 Pemerintah Repubulik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam peraturan ini Pemerintah mewajibkan Kartu BPJS Kesehatan harus dilampirkan sebagai syarat Permohonan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah atau Hak Milik  atas Satuan Rumah Susun yang diperoleh dari jual beli. BPJS Kesehatan resmi berlaku sebagai syarat permohonan peralihan hak tanah karena jual beli. Hal itu sehubungan dengan Surat Edaran Nomor HR.02/153-400/II 2022 yang dikeluarkan pada tanggal 14 Februari 2022 dan HR.02/164-400/II/2022, yang dikeluarkan pada tanggal 16 Februari 2022 oleh Dirjen PHPT Kementerian ATR/BPN atas nama Menteri ATR/Kepala BPN, perihal kartu peserta BPJS Kesehatan sebagai syarat dalam Permohonan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah atau Hak Milik  atas Satuan Rumah Susun yang diperoleh dari jual beli. 

Kejanggalan Pemerintah dalam Surat Edaran ini tidak memahami mana ranah publik dan ranah privat dalam membuat suatu kebijakan. Permasalahan yang terjadi adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam pengurusan hak atas tanah yang jelas-jelas merupakan ranah hukum privat yang mengatur hubungan hukum antara individu dengan individu seperti jual beli tanah. Jadi, proses jual beli tanah sampai beralihnya hak atas tanah tidak ada sangkut pautnya dengan kepemilikan kartu BPJS Kesehatan dalam proses administrasi pendaftaran tanah. Syarat kepemilikan kartu BPJS Kesehatan bukan dokumen yang substansial dan menentukan syarat sahnya proses jual beli tanah dan peralihan hak atas tanah. 

Sebagaimana asas hukum “tiada kewenangan tanpa pertanggung jawaban”, langkah memasukkan syarat kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat permohonan pendaftaran tanah dapat menimbulkan masalah lain berupa tumpah tindih kewenangan antara Kementerian Agraria dan BPJS Kesehatan. Sebab cakupan kewenangan Kementerian Agraria hanya dalam pengolahan sumber daya agrarian. Urusan orang mau daftar dan ikut kepesertaan BPJS Kesehatan bukanlah urusan Kementerian Agraria. Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintah, kebijakan memasukkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat pendaftaran tanah tergolong sebagai tindakan mencampuradukkan wewenang. Karena urusan orang mau daftar dan ikut BPJS Kesehatan berada diluar cakupan bidang atau materi wewenang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, yang hanya sebagai penyelenggara pendaftaran tanah. 

Kebijakan baru ini sangatlah jelas menyesatkan logika dan keliru. Logika hukum ini tidak boleh dipertahankan, karena dapat merusak tatanan hukum pertanahan yang sudah ada dan diwariskan turun temurun. Penulis berharap agar Surat Edaran Nomor HR.02/153-400/II 2022 yang dikeluarkan pada tanggal 14 Februari 2022 dan HR.02/164-400/II/2022, yang dikeluarkan pada tanggal 16 Februari 2022 oleh Dirjen PHPT Kementerian ATR/BPN atas nama Menteri ATR/Kepala BPN, perihal kartu peserta BPJS Kesehatan sebagai syarat dalam Permohonan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah atau Hak Milik  atas Satuan Rumah Susun yang diperoleh dari jual beli. Jika tujuannya ingin meningkatkan kesadadaran masyarakat akan pentingnya jaminan kesehatan, pemerintah seharunya melakukan itu dengan cara lain seperti dengan berbagai program revolusi mental. Instansi agrarian dan kesehatan tidak terlihat keterkaitannya. Penulis sangat tidak setuju atas dikeluarkannya surat edaran tersebut dan mewakili suara jeritan hati masyarakat berharap agar Kementerian ATR/BPN segera mencabut surat edaran tersebut dan penulis memberikan saran ataupun solusi agar pemerintah tau asset kekayaan orang jual beli tanah, harusnya yang sinkron itu memakai atau mempersyaratkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan BPJS Kesehatan karena tidak ada kaitannya sama sekali.

Posting Komentar untuk "Jual beli tanah wajib BPJS Kesehatan: “Pemerintah Tidak Tahu Ranah Privat”"