Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

APA YANG HARUS DIURUS LEBIH DULU JIKA INGIN MENGHIBAHKAN SEBAGIAN TANAH DAN RUMAH MILIKNYA

 

Penulis:
RIO FERDINAN TURNIP, S.H.
(ADVOKAT)

Sertifikat hak milik merupakan bukti kepemilikan atas tanah atau lahan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (“BPN”) dan digunakan sebagai bukti legalitas kepemilikan atas bidang tanah. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, sertifikat hak atas tanah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) jo. Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) yang menyebutkan:

Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA:

Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pasal 1 angka 20 PP 24/1997

Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Sehingga dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa sertifikat merupakan sebuah bukti legalitas kepemilikan tanah yang kuat secara hukum, dan dengan bebas dapat dipergunakan oleh pemiliknya sebagai sebuah alas hak, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang menyebutkan:

Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.

HIBAH

Selanjutnya, terkait dengan hibah, perbuatan tersebut secara hukum memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk dapat memindahkan hak yang kita miliki kepada orang lain, selagi hibah tersebut dilakukan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Hibah secara eksplisit diatur dan dijelaskan dalam Pasal 1666 KUH Perdata yang berbunyi:

Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan – penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.

Selain dalam tersebut, pengertian tentang hibah juga diatur pada Buku ke II Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menyebutkan:

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki

AKTA HIBAH ATAU PEMECAHAN BIDANG TANAH DULU?

Terdapat beberapa cara untuk melakukan peralihan hak atas tanah, yaitu di antaranya dengan melakukan hibah, jual beli, tukar menukar, yang mana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Akta hibah pada dasarnya diakui oleh negara dalam hal peralihan hak kepemilikan tanah, oleh karenanya akta hibah bisa dipergunakan sebagai dasar melakukan pemecahan sertifikat hak milik sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 95 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”) yang berbunyi:

Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah Akta Hibah;

Pasal di atas menegaskan bahwa akta hibah meruakan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, sedangkan pemecahan bidang tanah sendiri merupakan salah satu jenis perubahan data fisik dalam pendaftaran perubahan data tanah.

Baca Juga: PERLINDUNGAN HUKUM DEBITOR DALAM PELAKSANAAN LELANG HAK TANGGUNGAN AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN KREDIT BANK

Di sisi lain, pemecahan sertifikat tanpa adanya akta hibah juga dapat dilakukan pada sertifikat tanah yang sudah didaftar di mana sertifikat tersebut dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian dan pemecahan tersebut berdasarkan permintaan dari pemegang hak atau yang namanya tercantum sebagai pemilik didalam sertifikat tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) PP 24/1997, yang menyatakan :

Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.

Selain itu, Pasal 133 ayat (1) Permen Agraria 3/1997 mengatur bahwa:

”Permohonan pemecahan bidang tanah yang telah didaftar, diajukan oleh pemegang hak atau kuasanya dengan menyebutkan untuk kepentingan apa pemecahan tersebut dilakukan dan melampirkan:

  •      Setifikat hak atas tanah yang bersangkutan;
  •      identitas pemohon;persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan,             apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani Hak Tanggungan.

Berdasarkan ketentuan di atas, pemecahan sertifikat induk tanah dapat dilakukan secara langsung tanpa perlu melampirkan akta hibah, melainkan cukup dengan menyebutkan untuk apa kepentingan pemecahan tersebut dan melampirkan syarat-syarat di atas.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa baik pembuatan akta hibah maupun pemecahan sertifikat tanah dapat dilakukan terlebih dahulu, tidak terdapat keharusan maupun larangan untuk mendahulukan salah satunya.

Namun, menurut hemat kami, berdasarkan Pasal 48 ayat (1) PP 24/1997, akan lebih baik apabila sertifikat hak milik yang dimiliki oleh pemilik kedua rumah tersebut dipecahkan terlebih dahulu lalu melakukan hibah dan pembuatan akta hibah di hadapan notaris yang bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses peralihan hak, serta untuk mempermudah urusan penerima hibah jika nantinya akan melakukan balik nama sertifikat tersebut menjadi atas nama penerima hibah.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang Undang Hukum Perdata;
  2. Kompilasi Hukum Islam;
  3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah;
  5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan ketiga kalinya dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Posting Komentar untuk "APA YANG HARUS DIURUS LEBIH DULU JIKA INGIN MENGHIBAHKAN SEBAGIAN TANAH DAN RUMAH MILIKNYA"